Cindea Panji kebesaran Kerajaan Gowa asal Pattallassang

Cindea Panji kebesaran Kerajaan Gowa asal Pattallassang - Menurut ceritra orang-orang tua yang kita teruskan menceriterakan sekarang ini tentang Pattallassang, mudah-mudahan tidak keseleo dalam penuturannya, bahwa Pattallassang pada zaman dahulu kala diperintah oleh seorang Raja yang berkuasa penuh dalam daerahnya yang diberi gelar Karaeng Pattallassang. Berita yang sampai pada kita bahwa Raja yang terakhir belum juga beragama Islam, bernama Daeng Ma'lotteng dengan gelar Dampanga ri Pattallassangl). Beliau mempunyai dua orang putri. Pertama bernama Daile Tauwa dan yang bungsu bernama Bilobambaya. Setelah Dampanga ri Pattallassang meninggal, beliau dikuburkan di kampung Pattallassang juga dan digantikan oleh putrinya Daile Tauwa dengan gelar Kare Pattallassang. Sezaman dengan itu Raja Gowa juga masih bergelar Kare yang secara berangsur-angsur menjadi besar karena merebut daerah-daerah sekelilingnya termasuk juga Pattallassang, kemudian Pattallassang menjadi Bate Salapang di Gowa. Daerah Pattallassang kurang lebih 7 km. sebelah timur kota Sungguminasa. Dahulunya suatu pemerintah yang berdiri sendiri, kemudian jadi bawahan dari Gowa dan llate Salapanga ri Gowa. Kesembilan negeri ini menjadi anggota kabinet dalam kerajaan Gowa. Inilah pula menjadi inti anggota adat yang memberi nasehat kepada Raja dan melaksanakan perintah Raja.

Sekali peristiwa, menurut ceritra, suatu waktu Raja Gowa ingin berkenalan dan bersahabat dengan Dalle Tauwa, Kare Pattallassang. Raja Gowa mengundang Dalle Tauwa untuk datang berkunjung di istananya. Undangan itu diterima oleh Dalle Tauwa dengan tangan terbuka. Tidak berselang berapa hari lamanya, berangkatlah Dalle Tauwa dengan diusung dan diiringkan oleh rakyatnya menuju istana Raja Gowa untuR memenuhi undangan yang sudah diterimanya.

Ketika Dalle Tauwa tiba di halaman istana disambutlah dengan kehormatan dan ramainyapun bukan alang kepalang. Rakyat datang dari pelosok-pelosok kampung, berbondong-bondong menuju istana untuk menyaksikan keelokan paras Dalle Tauwa yang memang pada masa itu sukar dicari bandingannya. Oleh karena banyaknya orang datang di istana yang sama ingin menyaksikan Daile Tauwa yang tak ada taranya itu, runtuhlah dinding istana bahagian depan tempat orang banyak berkumpul. Kebetulan masa itu Raja Gowa tak ada di istana, ia sedang pergi mandi-mandi di Barombong, yang tinggal di istana Raja pada waktu itu hanyalah permaisuri Raja dan dapat menyaksikan rakyatnya disebabkan oleh perkunjungan Dalle Tauwa. Selain itu kebetulan pula permaisuri barusan juga menyaksikan (melihat) roman muka Dalle Tauwa, Karena memperhatikan paras Dalle Tauwa yang demikian eloknya menyebabkan permaisuri merasa berkekurangan lalu timbul perasaan kekhawatirannya dan tak sudi memandang Dalle Tauwa lama-lama, sekalipun 9alle Tauwa sudah berada di hadapan istana. lalu diperintahkannya penjaga istana supaya Dalle Tauwa dipersilahkan dengan hormat kembali saja ke negerinya bersama dengan para pengikutnya sebab Raja Gowa yang akan dikunjunginya tidak beni.da di istana. Adapun yang menyebabkan permaisuri bertindak demikian lakunya karena melihat w?.jah Dalle Tauwa yang amat cantik dan elok parasnya melebihi kecantikan dirinya sendiri.

Perkunjungan Daile Tauwa nyata-nyata ditolak oleh permaisuri karena khawatir kalau-kalau Raja Gowa sesudah melihat dan menyaksikan paras Daile Tauwa mungkin terjadi kelak ha! yang tidak disangka-sangka dan jauh dari pada yang diinginkan oleh permaisuri sendiri. Mendengar titah permaisuri yang disampaikan oleh penjaga istana maka marahlah Daile Tauwa karena ia merasa dihina oleh permaisuri. Lalu Daile Tauwa mengutuk Putri-Putri raja dan keturunannya, kelak akan menjadi buruk roman mukanya. Kutukan Dalle Tauwa yang sudah diucapkan itu, adalah sebagai jawaban atas tiridakan permaisuri Raja Gowa karena tidak menerimanya masuk ke istana. Daile Tauwa menganggap salah satu penghinaan besar atas dirinya, Kemudian Daile Tauwa pulang kenegerinya bersama semua pengiringnya dengan perasaan kecewa yang tak akan cepat lenyap diingatannya. Beberapa tahun kemudian, Dalle Tauwa meletakkan jabatannya lalu digantikan oleh saudaranya yang bernama BALO BAMBA YA sebagai Kare di Pa ttallassang. Tidak beberapa lama sesudah kejadian itu berlaku, Kerajaan Gowa berperang dengan kerajaan Bone. Kerajaan Gowa mengalami kekalahan besar dalam pertempuran dan semua pasukan Bate Salapanga yang. menjadi rombongan Raja Gowa menyerang Bone semua kalah, pun Raja Gowa sendiri tewas dalam pertempuran itu dan mendapat gelar Karaeng Tunibatta sesudah mangkatnya.

Diceriterakan, setelah Daile Tauwa berada di Pattallassang dengan perasaan kecewa, hilanglah keinginannya akan tetap memegang pemerintahan karena selalu digoda oleh perasaan penghinaan permaisuri Raja Gowa. Keinginan akan mempererat persahabatan antara kerajaannya dengan kerajaan Gowa beliau juga. segan-segan, oleh sebab itu ia berusaha mempercepat meletakkan jabatannya. Kata orang-orang dulu, sesudah Balobambaya memerintah di daerah Pattallassang, perhubungan Raja Gowa dan Kare Pattallassang kembali menjadi baik dan Balobambaya dapat bersahabat karib dengan Raja Gowa. Sewaktu Raja Gowa mendapat gelar Karaeng, Balobambaya dengan persetujuan Raja Gowa digelar pula Karaeng. Mulai waktu itu, daerah Pattallassang seluruhnya termasuk bahagian dari Kerajaan Gowa dan kemudian diangkat menjadi Bate Salapang (Adat sembilan di Gowa). Pada zaman Raja Gowa sesudah Karaeng Tunibatta mengendalikan pemerintahan di Gowa, ketika semua Bate Salapang berkumpul di istana .Raja membicarakan soal-soal peml(rintahan dan hal-hal yang menjadikan kekalahan dalam penyerangan Kerajaan Bone. Kerajaan Bone, diketahuilah dengan nyata bahwa Gaukang Kare Pattallassang adalah Cindea" Setelah itu Rajapun memintanya kepada Balobambaya. Atas persahabatan Balobambaya, tidak berkeberatan, lalu Cindeapun diserahkan kepada Raja Gowa dan sebagai gantinya Raja Gowa menyerahkan kepada Karaeng Pattallassang sebuah bendera yang bernama "ALAKKA YA".

Dengan diserahkannya Cindea oleh Balombaya kepada Raja Gowa, maka rakyat Pattallassang bebas dari segala-galanya. Sejak itu yang menjadi Karaeng Pattallassang turun temurun adalah keturunan Balobambaya, kecuali yang menjadi karaeng di Pattallassang setelah Belanda berkuasa. Kembali menuturkan asal mulanya cindea di Pattallassang, bahwa pada suatu ketika tampaklah oleh orang banyak di sebuah tempat yang dinamai Saile termasuk daerah Pattallassang, letaknya di utara kampung Pattallassang, bahwa di atas sebuah pohon asam yang besar lagi rindang, berkibar selembar kain yang menyerupai kain batik yang disebut orang didaerah itu "cindea". Sesudah terlihat maka tersiarlah berita yang menggemparkan penduduk daerah itu, lalu berkerumunlah orang banyak datang menyaksikan dengan maksud, ada yang hanya ingin menyaksikan semata-mata, ada pula yang hendak memilikinya.

Oleh karena besarnya batang pohon asam itu, seorangpun tak dapat memanjatnya, karena tak dapat mereka memeluk batangnya tetapi biarpun demikian rakyat makin bertambah banyak juga datang di tempat pohon asam yang lebat lagi rindang itu, serta berkumpul di bawah naungannya, sambil menanti datangnya angin yang kencang, dengan harapan kiranya dapat menerbangkan kain cindea dari tempatnya berkibar di atas pohon asam yang besar itu.

Oleh kejadian ini yang mereka anggap luar biasa benar, menimbulkan sangkaan banwa benda itu adalah benda ajaib yang didatangkan oleh Dewata, di kayangan sebagai Rahmat kepada Raja dan kepada rakyat di daerah Pattallassang juga. Lalu mereka mengarahkan bunyi-bunyian sebagai penghormatannya kemudian dipalunya gong, gendang, serunai (pui-pui) dan sebagainya di bawah pohon asam lagi rindang itu yang tak ada pohon ketika itlYyang dapat menyamai besarnya di Pattallassang. Biarpun rakyat sudah berlalu demikian, tetapi benda itu tetap juga tersangkut di atas pohon asam dan berkibar seakan-akan dihembus angin kencang dengan menampakkan coraknya yang penuh dengan tulisan-tulisan yang amat menarik para pengunjung dan penggemarnya.

Entah berapa lama berkibar di atas pohon asam itu dengan rrtengharukan penduduk sekitarnya yang berkerumum menyaksikan keindahannya. Tiba-tiba . di luar dugaan mereka, cindea menghilang dari pohon asam itu. Oleh karena itu maka sibuklah orang mencari ke mana perginya, kemudian tampak lagi di atas pohon cempaka di templlt yang dinamai Mamampang di sebelah utara Pattallassang, pohon itu tumbuh di sebuah delta di sebelah selatan kampung Saile, tempat yang mula-mula dihinggapinya. Melihat kejadian ini, lalu berlarian menuju tempat itu, meninggalkan pohon asam tadi dengan memalu gendang, gong dan serunai serta bunyi-bunyian lainnya. Setelah mereka tiba di tempat yang dituju, lalu berganti-gantilah yang pandai memanjat menaiki pohon cempaka itu, tetapi tidak seorangpun yang dapat sampai di dahan tempat cindea berkibar oleh karena bermacam-macam rintangan yang tidak diketahui dari sebab yang nyata, tetapi cindea tetap berkibar dengan megahnya di puncak pohon itu seakan-akan kain bendera yang sengaja dikibarkan di tiang susurannya.

Beberapa hari kemudian terjadi lagi hal yang mengherankan dengan lenyapnya cindea di pohon cempaka tempatnya berkibar. Kemudian dapat dilihat lagi berkibar di atas pohon kayu yang besar yang dinamai di daerah itu "Taeng" yang tumbuh pada sebidang tanah dekat sebuah sumur, di kampung Pattallassang. (Sumur yang disebut ini sampai sekarang masih ada di kampung Pattallassang), yang dinamai orang di sana BUNGUNG LOMPOA. Juga dianggap oleh rakyat sebagai keramat. Dengan kejadian-kejadian ini beralih lagi orang banyak yang sibuk mengikutinya ke tempat itu, sedang gendang, gong dan serup.ai tidak ketinggalan turut dibunyikan, di palu dengan lebih bersemangat dengan amat riuhnya.

Tiba-tiba turunlah cindea dengan sendirinya dari atas pohon Taeng itu. Penduduk menyambutnya dengan penuh kegirangan. Kemudian diantar dengan segala upacara kehormatan dengan diiringi gendang, gong dan serunai yang dipalu sepanjang jalan menuju ke rumah Dalle Tauwa. Setelah tiba di rumah Daile Tauwa, diadakanlah pesta besar-besaran sebagai tanda kegembiraan dan penghormatan atas penyerahan cindea. Mulai pada masa itu cindea dianggap sebagai bendera berhikmat dan dijadikian sebagai lambang kebesaran (gaukang) Karaeng Pattallassang. Demikianlah ceritra mula didapatkannya cindea yang kemudian diserahkan kepada Raja Gowa dan diganti dengan Alakkaya. Didalam rumah Karaeng Pattallassang sekarang masih ada tersimpan bendera kerajaan Alakkaya. Pada tahun 1905 ketika Gubernamen Belanda menaklukkan Gowa, maka dicarinyalah segala Gaukang, tetapi gaukang Pattallassang ketika itu disembunyikan dan baru pada pelantikan Raja Gowa pada tahun 1937 secara resmi diumurnkan kepada rakyat Pattallassang bahwa gaukang di Pattallassang tetap ada dan tidak pernah diserahkan kepada Belanda, Penduduk Pattallassang menganggap bendera itu sebagai bendera kebesaran itu tidak boleh disimpan dalarrt rumah Karaeng Pattallassang apabila Karaeng belum dilantik.[ab]

 


Posting Komentar

0 Komentar